Jumat, 28 Agustus 2009

RUMAHNYA SURGANYA

Dengan langkah tergesa-gesa ku masuki stasiun kereta api tua Semarang, Tawang, sebab kereta fajar utama berangkat 10 menit lagi, kereta sudah penuh sesak dengan banyak orang yg kembali harus menjemput impian di ibukota, setelah menghabiskan long weekend di kota tentram ini. Setelah sebentar mencari-cari, akhirnya kutemukan tempat dudukku, disebelahku sudah duduk seorang cewek manis, terlihat sederhana tanpa polesan make up, tersenyum hangat padaku, kira-kira usianya 2 atau 3 tahun lebih tua dariku, kucoba membalas senyumnya dengan menyapa ramah padanya, “mbak turun di mana”? Stasiun Senen balasnya dengan lembut. Boleh kita kenalan jawabku? Dia memperkenalkan namanya yaitu Tini. Bisa dibayangkan kami akan bersebelahan selama 8 jam perjalanan, aku hanya ingin kami satu sama lain merasa nyaman selama itu. Setelah kami ngobrol sebentar, dia meminta ijin untuk tidur, tak lama kulihat dia tertidur, wajahnya tampak lelah. Saat kereta berhenti di stasiun Tegal, cuaca panas sekali. Tak lama, diseberangku duduk anak cewek usia ± 6-7 tahun berkata: “Mamah, besok belikan dinda sepeda ya?”. Yang membuatku menghela nafas, si ibu menjawab dengan suara keras dan raut muka judes, “gimana mama mau belikan kamu sepeda, kebiasaan kamu aja joroknya kayak gitu, cewek kok kotornya minta ampun, rubah dulu tuh baru mama pikirin tuk beliin, kulihat sang suami hanya duduk kalem. Si ibu terlihat super cuek dengan tatapan heranku, aku heran dengan caranya menjawab ke anak sekecil itu, anak sepolos itu; aku heran karena tampak terlihat ibu itu ialah orang kaya yang berpendidikan. Aku lebih heran lagi ternyata bukan aku saja yang menatap aneh, mbak tini juga bersikap sama. Rupanya dia terbangun dengan teriakan ibu itu dan mbak tini lalu berkata kalau dia teringat akan anaknya yang harus tinggal terpisah darinya, dia tiba-tiba kangen, rupanya sang anak dalam asuhan ibu mbak tini di Semarang.
Singkat cerita, Mbak tini pun berbagi kisah. Dulu dia sudah bertunangan selama 2 tahun, tunangannya terpisah di Sumatera, dan dia di Jakarta. Tapi selama itu tak pernah ada kepastian kapan menikah, tunangannya selalu mengelak jika ditanya. Di tempat kerjanya yg baru, ada seorang teman cowok yg pendiam namun begitu perhatian. Suatu saat cowok itu bilang “ Tini, saya tahu kamu sudah terikat, tapi kamu selalu ada di benak saya, saya selalu berdoa pada Allah, kalau kita berjodoh pasti didekatkan, kamu tahu saat ini saya hanyalah buruh pabrik, yang punya penghasilan yang mungkin tak cukup besar untuk membahagiakan kamu, tapi saya punya modal yaitu saya hanya ingin mempertanggungjawabkan hidup saya pada Allah dan tidak akan “berbuat yang tidak –tidak” dengan menikahi kamu, jangan ragu untuk mengarungi hidup dengan saya, marilah kita lillahi taala, kita niatkan untuk ibadah pada Tuhan, semoga Allah menjamin.” Air mata mbak tini meleleh, di depannya telah berharap seorang teman yang di matanya baik, tekun shalat dan pekerja keras sangat berniat menikahinya. Apalagi teman cowoknya itu meminta ijin untuk datang ke rumah mbak tini, ibu mbak tini jelas berang, karena sang tunangan masih kerabat dekat, tapi saat si tunangan yang bekerja di Sumatera didesak lagi, tak ada jawaban yg memastikan, sang ibu pun luluh. Mbak tini dan temannya pun menikah. Mitosnya barunya usia suatu pernikahan, ujian besar kerap melanda. Dan ini terbukti, tahun kedua mbak tini sakit dan butuh biaya jutaan rupiah dan sehabis pulang dari menjalani perawatan di rumah sakit, mbk tini syok, putra pertamanya yang berusia 1,5 tahun ada beberapa lebam dan luka-luka ditubuhnya yang diyakini dipukuli sang pembantu, mbak tini histeris, kemarahannya meledak, ingin rasanya dia mencakar-cakar pembantu yang berusia 15 tahun itu, tapi sang suami menggenggam tangannya dengan lembut lalu berujar dengan nada pelan, mulai hari ini kamu berhenti bekerja sebagai pembantu saya.
Sang suami bak malaikat dalam surga dunia rumah tangga buat mbak tini, ya “rumahku surgaku”, ketiadaan pembantu, membuat sang suami kerap turun tangan menyapu, mengepel, mengelap debu-debu perabot, padahal tuntutan pekerjaannya sebagai buruh kerap menguras tenaga, jika mbak tini kelelahan dari bekerja dan belum sempat memasak, sang suami cukup puas dengan menumis kubis putih dengan cabai hijau besar. Karena kesibukan kerja dan belum ada pembantu, terpaksa anak pertama mereka dititipkan ke orang tua mbak tini di Jawa sementara waktu. Ombak menggulung kembali menerpa. Saat mbak tini ingin mengambil anaknya dari asuhan ibunya, sang ibu menolak, berkeras hati kalau sampai si cucu diambil, sama juga membunuh hati sang ibu. Mbak Tini kembali shock, sang nenek sudah terlalu cinta pada sang cucu. Kembali sang suami datang bagai embun di waktu fajar, dengan teduh sang suami berujar, jagalah perasaan ibumu, yang telah menjanda tanpa ayahmu, yakinlah Tuhan akan menggantinya, kalau kita memberi, kita berarti lebih kaya. Memang benar keajaiban ada pada mereka yang ikhlas, sekarang mbak tini sedang hamil 4 bulan anak keduanya. Dan dengan bercanda, mbak tini berkata tak akan pernah menitipkan anaknya kedua ini ke ibunya, kalau dia repot mengurusi lebih baik dia berhenti bekerja, asal anaknya tak lagi terpisah. Terimakasih mbak tini, kubawa hangat senyummu dan gemilangnya ceritamu sebagai semangat untuk meniti hari dan berbagi.(oleh2 dari semarang : 170809). salam terhangat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar